Konsep Madani dalam Tatanan Pemerintahan Daerah

IMG_147043654348696

Negara pada dasarnya dibentuk untuk melakukan pengaturan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, serta mensejahterakan masyarakat sebagai warga bangsa Dalam kerangka upaya itu, maka ditetapkan sistem pemerintahan daerah melalui Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah sebagai satu kesatuan dalam Sistem Pemerintahan Republik Indonesia.
Dalam rangka upaya mengakui dan mengormati keberagaman daerah dalam penyelenggaraan daerah, Pemerintah memberikan keleluasaan penyelenggaraan pemerintah kepada beberapa daerah, diantaranya Propinsi Aceh sebagai bentuk keistimewaan dan/atau kekhususan tertentu agar lebih berdayaguna dan berhasil guna dalam upaya mendukung mewujudkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Uraian bahasan terhadap Konsep Madani dalam Tatanan Pemerintahan Daerah ini terdiri dari beberapa aspek terkait yang relevan untuk dapat menjadi wacana dalam upaya mewujudkan Banda Aceh Model Kota Madani 2012-2017.
Masyarakat madani merupakan kondisi yang diharapkan oleh semua masyarakat di dunia. Kata madani sepintas akan selalu diasosiasikan orang dengan kata Madinah yang menjadi ibukota pertama pemerintahan Muslim. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena kata Madani memang berasal dari dan terjalin erat secara etimologi dan terminologi dengan Madinah. Secara harfiah, kata Madani diartikan dalam bahasa arab sebagai“menempati suatu tempat” (Ar Raziy dalam Mukhtar as Shihah hal.742).
Selanjutnya dalam kaitannya dengan masyarakat, konsep ini sering dipersamakan dengan civil society. Beberapa ahli menafsirkan sedikit berbeda terkait dengan masyarakat madani atau civil society secara beragam:
a. Cicero dalam filsafat politik yang memahaminya sebagai societies civilisyang identik dengan negara, walaupun dalam perkembangannya kini dipahami sebagai kemandirian aktivitas warga masyarakat madani sebagai “area tempat berbagai gerakan sosial” (seperti himpunan ketetanggaan, kelompok wanita, kelompok keagamaan, dan kelompk intelektual) serta organisasi sipil dari semua kelas (seperti ahli hukum, wartawan, serikat buruh dan usahawan)berusaha menyatakan diri mereka dalam suatu himpunan, sehingga mereka dapat mengekspresikan diri mereka sendiri dan memajukkan pelbagai kepentingan mereka (dalam Sanaky, 2012).
b. Hamim (1999:4) menjelaskan bahwa civil society dipandang sebagai masyarakat madani yang prototype-nya ada pada masyarakat idial di Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW, dimana dalam masyarakat tersebut Nabi berhasil memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan hukum, jaminan kesejahteraan bagi semua warga, serta perlindungan terhadap kelompok minoritas.
c. Abdillah (1999:4), mengemukakan bahwa secara ideal masyarakat madani tidak hanya sekedar terwujudnya kemandirian masyarakat berhadapan dengan negara, melainkan juga terwujudnya nilai- nilai tertentu dalam kehidupan masyarakat, terutama keadilan, persamaan, kebebasan dan kemajemukan (pluralisme).
d. Hidayat (1999:267-268) masyarakat madani dipandang sebagai sebuah masyarakat yang dilandasi norma-norma keagamaan sebagaimana yang diwujudkan Muhammad SAW di Madinah, yang berarti “kota peradaban”, yang semula kota itu bernama Yathrib menjadi Madinah difahami oleh umat Islam sebagai sebuah manifesto konseptual mengenai upaya Muhammad SAW untuk mewujudkan sebuah masyarakat Madani, yang diperhadapkan dengan masyarakat Badawi dan Nomad.Adapun dalam kondisi masyarakat Indonesia sekarang ini, kata madani dapat diperhadapkan dengan istilah masyarakat Modern.
Civil society diterjemahkan sebagai “masyarakat madani”, yang mengandung tiga hal, yakni agama, peradaban dan perkotaan. Di sini, agama merupakan sumber, peradaban adalah prosesnya, dan masyarakat kota adalah hasilnya. (Dawam Raharjo, 2010).
Dari beberapa pendapat tersebut dapat digambarkan bahwa “masyarakat madani merupakan suatu masyarakat yang memiliki kemandirian dan berkembang sesuai dengan potensi budaya, adat istiadat, dan agama, dengan mewujudkan dan memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan (persamaan), penegakan hukum, jaminan kesejahteraan, kebebasan, kemajemukan (pluralisme), dan perlindungan terhadap kaum minoritas”.
Perlunya Penataan Pemerintahan Daerah: Menuju Karakteristik Madani
Sebagaimana diuraikan diatas, bahwa Masyarakat madani ialah suatu komunitas individu yang memiliki kesukarelaan, kemandirian, dan patuh terhadap suatu aturan atau hukum yang berlaku. Dengan karakteristik masyarakat madani itu, maka kondisi ini tentunya merupakan cita-cita dan harapan yang ingin diwujudkan oleh Pemerintah maupun Pemerintah Daerah di Indonesia. Untuk mewujudkan itu tentunya diperlukan tata kelola pemerintahan yang baik di semua level pemerintahan yang ada.
Tata kelola pemerintahan madani, termasuk pemerintahan daerah madani tentu harus mengedepankan aspek good governanance yang dicerminkan adanya akuntabilitas dan transparansi yang cukup tinggi dalam pengelolaan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan daerah, serta mengembangkan demokratisasi yang berbasis pada partisipasi masyarakat (participatoruy democracy) dalam implementasi kebijakan dan program pemerintahan daerah termasuk pembangunan masyarakat.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, pada dasarnya merupakan modal dasar bagi masyarakat Aceh untuk segera melakukan langkah-langkah strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah sesuai dengan karakteristik Aceh. Perlu disadari bahwa keistimewaaan dan/atau kekhususan Aceh ini adalah karena Aceh memiliki karakteristik khas dalam sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi. Ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syari’at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penataan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Aceh perlu untuk memperhatikan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik sebagai upaya untuk mendukung terwujudnya kesejahteraan rakyat, keadilan serta pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi manusia.
Osborne dan Gaebbler (1993) menyatakan bahwa saat ini perlu adanya perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintahan daerah:
a. Pemerintahan Daerah harus berjiwa entreprenuerial, dimana pemerintah harus dilaksanakan secara efisien dan efektif dengan memanfaatkan sumberdaya pembangunan dengan kombinasi terbaik untuk mencapai hasil yang optimum.
b. Pemerintahan Daerah harus kompetitif, dimana pemerintah harus membuka peluang kepada berbagai pihak untuk mengambil peran dan berkompetisi dalam kegiatan usaha dan kegiatan pemerintahan untuk mencapai kinerja yang lebih tinggi.
c. Pemerintahn Daerah harus mengacu kepada kebutuhan pelanggan, dimana pemerintah harus dapat memberi pelayanan kepada masyarakat dengan baik, dalam arti jenis, jumlah, harga dan mutu.
d. Pemerintah Daerah harus dapat dikelola seperti badan usaha, dalam arti pemerintah harus dapat bertindak cepat, tepat, profesional, ekonomis, dan efisien seperti yang dilakukan oleh perusahaan.
e. Pemerintahan Daerah harus antisipatif, dimana segala tindakan pemerintah harus memperhatikan dan memperhitungkan segala kemungkinan yang terjadi di masa mendatang.
f. Pemerintah Daerah harus mampu mendesentralisasi dan mendorong partisipasi masyarakat, dalam arti pemerintah memberikan kewenangan kepada masyarakat untuk melakukan yang terbaik bagi dirinya dan membuka kesempatan untuk ikut serta dalam proses pembangunan.
g. Pemerintahan Daerah harus berorientasi pasar, dimana pemerintah harus secara jeli memperhatikan mekanisme pasar.

Selain itu, juga perlu menumbuhkan solidaritas seluruh potensi warga untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh serta menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perwujudan pemerintahan daerah madani merupakan bentuk pemikiran yang cukup strategis karna hal ini didukung dengan karakterisktik penerapan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat serta penegakan hukum di Aceh.
Agama sangat berperan dalam membangun Masyarakat Madani. Agama dianalogkan sebagai suatu system yang outputnya terdiri dari individu-individu yang memiliki ketakwaan sosial yang tinggi. Individu-individu madani menjadi syarat utama bagi terbentuknya masyarakat madani karena pada dasarnya masyarakat adalah sebuah komunitas yang terdiri dari individu-individu.
Di dalam agamalah jiwa seseorang itu terbentuk. Seseorang akan bersikap fanatik jika didalam agamanya diajarkan pemahaman-pemahaman yang menjunjung tinggi ego dan sikap meremehkan pihak lain. Sebaliknya, seseorang akan bersikap pluralis jika didalam agamanya mengajarkan sikap saling menghargai dan toleransi.
Terbentuknya Masyarakat Madani di Dalam Keberagamaan dipengaruhi oleh berbagai faktor.
a. Untuk membentuk sebuah masyarakat madani diperlukan individu yang memiliki ketakwaan sosial yang tinggi. Oleh karena itu pemahaman yang benar terhadap ajaran agama sangatlah berpengaruh dalam terbentuknya masyarakat madani.
b. Faktor lain yang juga berpengaruh, walaupun pengaruhnya sangat kecil adalah tingkat pendidikan, tingkat perekonomian, dan adat istiadat penduduk. Semula kami sedikit meragukan hal ini, tapi setelah melakukan penelitian lebih lanjut di peroleh hasil yang positif walaupun tidak terlalu mencolok.

Pemberdayaan Masyarakat menuju Masyarakat Madani
Pemberdayaan atau empowerment menurut Merriam Webster dalam “Oxford English Dictionary” mengandung dua pengertian, yaitu:
a. To give ability or enable to, yakni upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pelaksanaan berbagai kegiatan dan program program pembangunan, agar kondisi kehidupan masyarakat mencapai tingkat kemampuan yang diharapkan;
b. To give power or outhority to, yakni memberikan kekuasan mengalihkan kekuatan atau mendelagasikan otoritas kepada masyarakat, agar masyarakat memiliki kemandirian pengambilan keputusan dalam rangka membangun diri dan lingkunganya secara mandiri;

Dengan demikian, upaya pemberdayaan masyarakat berarti “memampukan dan memandirikan masyarakat”. Dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat harus berawal dari pemberdayaan masyarakat secara personal dan keluarga (mikro) kearah komunitas (makro), yang mencakupi pemberdayaan pada aspek sosial ekonomi, pemberdayaan politik, dan pemberdayaan psikologis, yakni:
a. Pemberdayaan sosial ekonomi difokuskan pada upaya menciptakan akses bagi setiap rumah tangga dalam proses produksi, seperti akses terhadap informasi , akses terhadap pengetahuan dan keterampilan,akses untuk berpartisipasi dalam organisasi, dan akses terhadap sumber-sumber keuangan;
b. Pemberdayaan politik difokuskan pada upaya menciptakan akses bagi setiap rumah tangga kedalam proses pengembalian keputusan publik yang mempengaruhi masa depannya. Pemberdayaan politik masyarakat tidak hanya sebatas pada proses pemilihan umum, tetapi juga kemampuan untuk mengemukakan kegiatan kolektif, atau bergabung dalam berbagi asosiasi politik, seperti partai politik, gerakan sosial, atau kelompok kepentingan;
c. Sedangkan pemberdayaan fisikologis difokuskan pada upaya membangun kepercayaan diri bagi setiap rumah tangga yang lemah. Kepercayaan diri pada hakikatnya merupakan hasil dari proses pemberdayaan sosial ekonomi dan politik.

Leave a comment